BAB I
PENDAHULUAN
I.I
Latar Belakang
Tari Bedhaya Ketawang adalah sebuah
tarian sakral yang menceritakan kisah asmara Panembahan Senopati (Mataram)
dengan ratu Kencanasari (penguasa laut kidul), biasanya dipertunjukan hanya
pada saat peringatan kenaikan tahta raja, dan biasanya hanya dinikmati oleh
kalangan abdi dalam saja.
Banyak hal yang menarik untuk
diamati dalam tarian sakral ini, sejarahnya yang menarik, fungsi tujuannya yang
kuat, serta konten yang terkandung di dalamnya. Ada sebuah pepatah yang
menyebutkan bahwa “tak kenal maka tak sayang” adalah benar apabila kita ingin
melestarikan sebuah warisan budaya maka kita harus tahu setidaknya makna yang
terkandung dalam budaya tersebut.
Maka dalam makalah ini kami
mengambil sudut pandang “makna simbolik” agar Bedhaya Ketawang ini bisa kita
fahami secara mendalam.
1.2
Rumusan Masalah
a. Mengapa jumlah penari dalam Bedhaya
Ketawang harus 9 orang ?
b. Bagaimana makna kostum dan rias
dalam tari Bedhaya Ketawang ?
1.3
Tujuan
a. Mengetahui makna simbolik dari
jumlah penari Bedhaya Ketawang
b. Mengetahui makna simbolik dari
busana dan rias tari Bedhaya Ketawang
c. Mengenal tari Bedhaya Ketawang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sekilas Tentang Tari Bedhaya Ketawang
Tari Bedhaya Ketawang merupakan
tarian sakral yang tertua (Nusjirwan, 1967: 31) Tari Bedhaya Ketawang merupakan
pusaka kraton Kasunanan yang konon dicipta oleh Sultan Agung (Soedarsono, 1991:
37-38). Pertunjukan Bedhaya Ketawang diselenggarakan pada upacara Penobatan
raja atau pada saat Tingalan Jumenengan Dalem (ulang tahun penobatan raja).
Pada saat ini kraton Surakarta menyelenggarakan pertunjukan Bedhaya Ketawang
dalam setahun sekali, yaitu pada hari kedua bulan Ruwah. Tanggal ini merupakan
tanggal ketika Susuhunan Paku Buwana XII naik tahta.
Upacara Tingalan Jumenengan Dalem
ini sifatnya agak tertutup dan pribadi. Tempat pelaksanaannya di pendapa
Sasanasewaka dan para putri duduk di dalam Prabasuyasa. Berhubung sifatnya yang
pribadi itu, maka sesudah upacara resmi berakhir residen dan para tamu undangan
lainnya segera meninggalkan tempat pasamuan, sehingga tarian Bedhaya Ketawang
itu hanya disaksikan oleh Sunan bersama keluarga, kerabat, dan para abda dalem
saja.
Tari Bedhaya Ketawang adalah salah satu tari putri gaya Surakarta
yang ditarikan oleh sembilan penari. Masing-masing penari mempunyai jabatan.
Yaitu : batak, gulu, dhadha, buncit, apit ngarep, apit mburi, apit meneng,
endhel ajeg dan endhel weton (babagan hawa sanga atau sembilan nafsu manusia).
Latihannya pun pada hari tertentu. Yaitu hari Selasa Kliwon (sesuai penanggalan
Jawa). Setiap latihan, harus ada penari cadangan. Karena saat hari H,
jika ada penari yang haid tidak diperkenankan menari. Sehingga penari cadangan
tersebut bisa menggantikannya.
Selain itu Bedhaya Ketawang juga
merupakan simbol kesuburan. Hal itu terlihat pada kostum dodot ageng warna
hijau yang merupakan warna favorit Kanjeng Ratu Kidul dengan motif alas-alasan.
Tari Bedhaya Ketawang menceritakan percintaan antara Panembahan Senopati dengan
Kanjeng Ratu Kidul.
2.2
SIMBOL JUMLAH PENARI
Tari Bedhaya Ketawang yang dilakukan
oleh Sembilan orang penari banyak mengandung makna simbolis yang selalu terkait
dengan pandangan filsafat masyarakat yang mendukungnya. Maka dapat dikatakan
bahwa dalam tari Bedhaya Ketawang ada keterkaitan dengan kultur zamannya.
Jumlah Sembilan yang dipilih adalah jumlah bilangan terbesar menurut pandangan
orang Jawa. Hal ini selalu dikaitkan dengan perwujudan makrokosmos, sehingga
jumlah bilangan penari pada tarian Bedhaya Ketawang merupakan perwujudan
makrokosmos dan mikrokosmos.
Hal ini tidak terlepas pada
kepercayaan masyarakat Jawa di masa itu yang meyakini tentang kesejajaran jagat
raya yaitu dunia manusia. Menurut kepercayaan ini, manusia senantiasa berada
pada penjuru mata angin, bintang-bintang dan planet. Jumlah Sembilan penari
pada tari Bedhaya Ketawang merupakan simbol mikrokosmos (jagat raya) yang ditandai
dengan sembilan arah mata angin yaitu : tengah (sebagai poros), utara, selatan,
timur, barat, timur laut, barat laut, tenggara, dan barat daya. Dalam kitab
Wedhapariksama dijelaskan bahwa sembilan arah mata angin dilambangkan dengan
bentuk cakra dengan pusat lingkaran di tengah. Kesembilan arah itu disebut
nawa-dhara atau sembilan jenis sikap. Dari nawa-dhara lahirlah sembilan jenis
sakti yang disebut nawa-natha (sembilan penari).
Selain itu jumlah sembilan tersebut
juga merupakan simbol alam semesta dengan segala isinya yang mencakup :
bintang, bulan, matahari, angkasa (langit), bumi (tanah), air, api, angin, dan
makhluk yang ada di dunia.
Dalam tari Bedhaya Ketawang, jumlah
sembilan penari masing-masing mempunyai peran sebagai : batak, endhel, ajeg, gulu, dhadha, apit
ngarep, apit mburi, apit meneng, endhel, endhel weton dan bucit. Makna dan
latar belakang penyusunan tari Bedhaya Ketawang berkaitan dengan nilai kaum
ningrat, bertitik tolak dari simbol kehidupan religo-magis Hindu-Jawa seperti
uraian berikut ini.
Makna simbolik dalam tari Bedhaya
Ketawang yang disebut makna simbolik nilai dualisme dapat dilihat dan dihayati
pada bentuk kemanunggalan antar batak dan endel ajeg dalam hubungannya dengan
Rwa-Binedha (Proyek Sarana Budaya Bali, 1975/1976:60-61). Pada formasi
perangan, endhel ajeg dan batak memegang peran utama, sedangkan ketujuh penari
lainnya berperan sebagai penari kelompok. Dalam formasi peranan ini dilukiskan
bahwa endhel ajeg berusaha menaklukan batak, tapi tidak ada satupun yang menang
atau kalah.
Gambar Formasi perangan
Pada formasi ini batak dan endhel
ajeg berdiri, sedangkan yang lain duduk.
Makna
yang bisa diambil dari adegan ini adalah figur permusuhan atau dalam istilah
Jawa dikenal dengan loro-loroning atunggal. Akan tetapi loro-loroning atunggal
ini senantiasa diawali dengan proses yang melambangkan percintaan.
Di
dalam tari Bedhaya Ketawang yang menunjukan suatu kaitan dengan sifat
Rwa-Bineda secara jelas menunjukan adanya hubungan dengan berlangsungnya
upacara-upacara kesuburan. Ini sesuai denga tema tari ini yang melambangkan
kesuburan yaitu menggambarkan hubungan seksual antara panembahan Senopati
beserta keturunannya dengan Kanjeng Ratu Kencana Sari, yang ditransformasikan
dengan gerak gerak percintaan yang halus secara abstrak.
Kembali
kepada penari yang berjumlah Sembilan yang merupakan symbol makrokosmos
(jagading manungsa) ditandai dengan adanya Sembilan lubang yang ada pada
manusia (lubang hawa nafsu) yaitu : dua mata, dua lubang hidung, dua lubang
telinga, satu mulut, satu anus, dan satu organ seks. Semua terwakili dalam
peran penari Bedhaya Ketawang masing-masing : penari batak sebagai kepala atau
akal, penari endhel ajeg sebagai semua nafsu dan keinginan hati, penari jangga
mewujudkan bagian leher, penari dhadha menunjukan bagian dada, penari apit
ngarep muwujudkan bagian lengan kanan, penari apit mburi mewujudkan bagian
lengan kiri, penari endhel waton mewujudkan bagian organ seks,
Tari
bedhaya ketawang mengenakan dodot ageung bangun tulak sebagai salah satu
cirinya. Bentuk dodot bangun tulak ini merupakan perwujudan kesadaran akan
perlindungan. Ini tampak dengan warna khas pakaian dodot bangun tulak yaitu
hijau biru tua dengan warna putih merupakan symbol daya hidup, berkembangnya
hidup dari kuasa Tuhan, merupakan sinar putih sebagai asal mula hidup. Warna
biru merupakan simbol keluhuran budi, arif bijaksana, waspada, keimanan,
keteguhan hati dalam perjuangan dan pengabdian. Motif alas-alasan merupakan
perwujudan dengan Tuhan. (Haryonagoro, 5 Oktober 2001 ).
2.3
KOSTUM DAN TATA RIAS TARI BEDHAYA KETAWANG
Sajian
tari Bedhaya Ketawang selain menampilkan keindahan susunan tarinya diperindah
lagi oleh tata busana dan tata rias sebagai salah satu medium bantunya. Bentuk
busana dodot bangun tulak serta rias wajah dengan paes (rias pengantin Jawa
putri) adalah salah satu cirri dari Bedhaya Ketawang.
Tata
rias dan busana tari ini dibedakan menjadi dua yaitu kirab (gladi resik) yakni
latihan terakhir dengan pengawasan raja yang telah duduk di dhampar kencana dan
pada saat upacara jumenengan raja atau tinggalan jumenengan raja. Pada saat
kirab para penari berhias wajah tipis dan sangat sederhana tetapi telah dikerik
( rambut bagian depan dibentuk paes ) dengan sanggul ageng bangun tulak, mereka
mengenakan sampur putih tidak menggunakan slepe (sabut untuk menari), kain
samparan bermotif parang klithik, dengan perhiasan hanya subang.
Tata
rias dan busana pada saat pagelaran para penari dirias seperti pengantin jawa.
Gambar paes terdiri dari empat bagian, yaitu : gajah, pangapit, panitis, dan
godheg. Yang disebut gajah berbentuk seperti potongan telur itik bagian ujung
letaknya di tengah dahi. Gajah ini melambangkan tuhan yang maha kuasa karena
bentuknya paling besar. Gambar pangapit terletak dikanan kiri gajah, berbentuk
kuncup bunga kanthil (cempaka) yang melambangkan wanita. Sedangkan panitis
berjumlah dua, terletak kiri pangapit kiri dan kanan pangapit kanan, berbentuk
seperti potongan telur ayam bagian ujung. Panitis ini merupakan perlambang pria
yang bertugas menurunkan benih. Godheg berjumlah dua, berbentuk kuncup kuncup
bungaturi terletak di depan kedua telinga. Godheg melambangkan cita-cita
perkawinan atau bersatunya pria dan wanita, yang diharapkan dapat memberikan
keturunan. (Koes Sri Hartati, 18 Oktober 2001). Dengan demikian paes tari
Bedhaya Ketawang mempunyai makna kesuburan dibawah kekuasaan tuhan.
Ujung
gajah, pangapit, dan panitis mengarah kesatu titik yaitu ujung hidung. Ini
merupakan tuntunan bersemedi serta tunduknya manusia yang sedang mengheningkan
cipta untuk pendekatan kepada tuhan. Maka tari ini bisa dikatakan sebagai
sarana pendekatan kepada tuhan (sangkan paraning dumadi). Banyaknya makna
simbolik yang memang sulit dipisah dalam tari Bedhaya Ketawang dan sangat
kompleks. Maka masyarakat Jawa khususnya Surakarta masih meyakini kesakralan
tari Bedhaya Ketawang.
Rambut
disanggul berbentuk bokor mengkureb ditutup dengan bunga melati sebagai rajut
yang berbentuk kawungan. Bentuk bokor sebagai wadah yang masih kosong, sedang
bunga melati menggambarkan kesucian. Ini menyatakan bahwa penari Bedhaya harus
masih gadis dan suci. Bunga melati yang berbentuk kawungan melambangkan
menyatunya kawula ian gusti dalam suatu wadah.(Kebadayaan Jawi keraton
Surakarta : 19). Bunga tiba dhadha berbentuk kawungan dikenakan pada sanggul
bagian kanan terjuntai melewati dada sebelah kanan sampai tengah paha.
Para
penari Bedhaya Ketawang pada waktu pentas mengenakan dodot ageng bangun talak
(hitam putih) ini bermakna penolakan makhluk kasar ataupun halus . kain cindhe
merah bermotif cakar mempunyai makna penghematan, yaitu manusia dituntut harus
selalu hemat dan bekerja. Sampur cindhe merah bermotif cakar sebagai pengikat
pinggang agar para penari dapat mengendalikan diri dengan ikatan yang kuat.
Kelat bahu terbuat dari swasa (perak dicampur tembaga) dikenakan pada lengan
atas kiri dan kanan sebagai tanda bahwa pemakainya masih gadis. Slepe berwarna
kuning dan thothok (tempat mengaitkan slepe ) untuk menambah keindahan warna
busana.
Perhiasan
yang dikenakan kecantikan para penari antara lain : cundhuk mentul (bunga
goyang) berjumlah Sembilan, garudha mungkur terbuat dari swasa bertabur intan,
dipasang dibawah sanggul bokor mengkureb. Giwang berbentuk wulan tumanggal
(bulan sabit) merupakan lambang murah sandang pangan. Selain itu dikenakan
gelang, cincin, bros untuk menambah keindahan busana (Yosodipuro,tt : 24).
Hiasan
buntal yang dilingkarkan pada panggul penari dari daun kroton, bunga kenikir
atau biasa disebut dewa-ndaru, daun beringin sengkeran dari pohon yang dikurung
di alun-alun yang biasa dipakai untuk menghias kembang mayang pengantin. Pohon
beringin ini disebut Kalpataru dan
Dewantaru yang mempunyai makna kesuburan yang abadi membawa
kesejahteraan dan ketentraman masyarakat Jawa. (Siti Suharti, 18 Oktober 1993).
Dan semakin jelas apabila tari Bedhaya Ketawang sangat kesakralannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar